Ztaremolhk

Hubungan biota laut dengan warna air laut

27 March 2012
Leave a Comment

Seperti yang sudah teman saya jelaskan di blog mereka http://elsanurman.blogspot.com/2012/03/dinamika-warna-air-laut.html, biota laut pun memiliki hubungan dalam pemberian warna air laut.

Air laut berwarna hijau ini disebabkan karena pada dasar laut tersebut terdapat  fitoplankton yang memancarkan kandungan klorofilnya untuk melakukan fotosintesis. Pada saat cahaya matahari datang, klorofil pada fitoplankton menyerap sebagian besar warna merah dan warna biru, dan memantulkan warna hijau. Air Laut berwarna hijau ini biasa terlihat di perairan dekat pantai.

 

Air laut berwarna merah ini disebabkan karena pada dasar lautnya ada ganggang merah, contohnya laut merah yang berada diantara Saudi Arabia dengan mesir. Air laut berwarna merah juga disebabkan adanya bloomning fitoplankton yang biasa disebut red tide.

Gambar

 


Posted in Uncategorized

Resume Ekologi Laut Tropis

15 June 2010
Leave a Comment

Materi yang menyusun tubuh organisme berasal dari bumi. Materi yang berupa unsur-unsur terdapat dalam senyawa kimia yang merupakan materi dasar makhluk hidup dan tak hidup. Materi ini kemudian dimanfaatkan oleh organisme lain untuk hidup. Dalam suatu ekosistem, materi pada setiap tingkat trofik tidak hilang. Materi berupa unsur-unsur penyusun bahan organik tersebut didaur-ulang. Unsur-unsur tersebut masuk ke dalam komponen biotik melalui udara, tanah, dan air. Daur ulang materi tersebut melibatkan makhluk hidup dan batuan (geofisik) dan jika satu makhluk hidup mati, rantai makanan tetap berjalan.

Siklus biogeokimia atau siklus organikanorganik adalah siklus unsur atau senyawa kimia yang mengalir dari komponen abiotik ke biotik dan kembali lagi ke komponen abiotik. Siklus unsur-unsur tersebut tidak hanya melalui organisme, tetapi juga melibatkan reaksi-reaksi kimia dalam lingkungan abiotik sehingga disebut siklus biogeokimia (dinamakan siklus karena berlangsung terus menerus). Biogeokimia adanya perubahan dari biosfer yang hidup dan tak hidup yang menyangkut materi.

Siklus-siklus tersebut antara lain:

  1. Siklus Nitrogen
  2. Siklus Fosfor
  3. Siklus Karbon dan Oksigen

Bagaimana nutrient masuk ke ekosistem

  1. Weathering
  2. Atmospheric Input
  3. Biological Nitrogen Fixation
  4. Immigration

Bagaimana nutrient keluar dari ekosistem

  1. Erosion
  2. Leaching, intrusi
  3. Gaseous Losses, pembuangan berupa gas
  4. Emigration and harvesting

1. Siklus Nitrogen (N2)

Gas nitrogen banyak terdapat di atmosfer, yaitu 80% dari udara. Nitrogen bebas dapat ditambat/difiksasi terutama oleh tumbuhan yang berbintil akar (misalnya jenis polongan) dan beberapa jenis ganggang. Nitrogen bebas juga dapat bereaksi dengan hidrogen atau oksigen dengan bantuan kilat/ petir.

Tumbuhan memperoleh nitrogen dari dalam tanah berupa amonia (NH3), ion nitrit (N02- ), dan ion nitrat (N03- ).

Beberapa bakteri yang dapat menambat nitrogen terdapat pada akar Legum dan akar tumbuhan lain, misalnya Marsiella crenata. Selain itu, terdapat bakteri dalam tanah yang dapat mengikat nitrogen secara langsung, yakni Azotobacter sp. yang bersifat aerob dan Clostridium sp. yang bersifat anaerob. Nostoc sp. dan Anabaena sp. (ganggang biru) juga mampu menambat nitrogen.

Nitrogen yang diikat biasanya dalam bentuk amonia. Amonia diperoleh dari hasil penguraian jaringan yang mati oleh bakteri. Amonia ini akan dinitrifikasi oleh bakteri nitrit, yaitu Nitrosomonas dan Nitrosococcus sehingga menghasilkan nitrat yang akan diserap oleh akar tumbuhan. Selanjutnya oleh bakteri denitrifikan, nitrat diubah menjadi amonia kembali, dan amonia diubah menjadi nitrogen yang dilepaskan ke udara. Dengan cara ini siklus nitrogen akan berulang dalam ekosistem.

2. Siklus Fosfor

Di alam, fosfor terdapat dalam dua bentuk, yaitu senyawa fosfat organik (pada tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air dan tanah).

Fosfat organik dari hewan dan tumbuhan yang mati diuraikan oleh dekomposer (pengurai) menjadi fosfat anorganik. Fosfat anorganik yang terlarut di air tanah atau air laut akan terkikis dan mengendap di sedimen laut. Oleh karena itu, fosfat banyak terdapat di batu karang dan fosil. Fosfat dari batu dan fosil terkikis dan membentuk fosfat anorganik terlarut di air tanah dan laut. Fosfat anorganik ini kemudian akan diserap oleh akar tumbuhan lagi. Siklus ini berulang terus menerus.

3. Siklus Karbon dan Oksigen

Di atmosfer terdapat kandungan COZ sebanyak 0.03%. Sumber-sumber COZ di udara berasal dari respirasi manusia dan hewan, erupsi vulkanik, pembakaran batubara, dan asap pabrik.

Karbon dioksida di udara dimanfaatkan oleh tumbuhan untuk berfotosintesis dan menghasilkan oksigen yang nantinya akan digunakan oleh manusia dan hewan untuk berespirasi.

Hewan dan tumbuhan yang mati, dalam waktu yang lama akan membentuk batubara di dalam tanah. Batubara akan dimanfaatkan lagi sebagai bahan bakar yang juga menambah kadar C02 di udara.

Di ekosistem air, pertukaran C02 dengan atmosfer berjalan secara tidak langsung. Karbon dioksida berikatan dengan air membentuk asam karbonat yang akan terurai menjadi ion bikarbonat. Bikarbonat adalah sumber karbon bagi alga yang memproduksi makanan untuk diri mereka sendiri dan organisme heterotrof lain. Sebaliknya, saat organisme air berespirasi, COz yang mereka keluarkan menjadi bikarbonat. Jumlah bikarbonat dalam air adalah seimbang dengan jumlah C02 di air.

Ekologi Laut Tropis

Ekologi laut merupakan ilmu yang mempelajari tentang Ekosistem air laut. Ekosistem air laut dibedakan atas lautan, pantai, estuari, dan terumbu karang, dan padang lamun. Berikut penjelasan tentang ekologi laut.

Laut

Habitat air laut (oceanic) ditandai oleh salinitas tinggi dengna ion Cl mencapai 55% terutama di daerah laut tropik, karena suhunya tinggi dan penguapan besar. Di daerah tropik, suhu laut sekitar 25oC. Perbedaan suhu bagian atas dan bawah tinggi. Batas antara lapisan air yang panas di bagian atas dengan bagian air yang dingin di bagian bawah disebut daerah termocline.

Di daerah dingin, suhu air laut merata sehingga air dapat bercampur, maka daerah permukaan laut tetap subur dan banyak plankton serta ikan. Gerakan air dari pantai ke tengah menyebabkan air bagian atas turun ke bawah dan sebaliknya, sehingga memungkinkan terbentuknya rantai makanan yang berlangsung baik. Habitat laut dapat dibedakan berdasarkan kedalamannya dan wilayah permukaan secara horizontal.

Lingkungan Hidup Bahari

  • Laut merupakan penghubung (bukan perintang) antar bagian bumi
  • Sumber bahan makanan untuk melengkapi bahan makanan dari daratan
  • Sumber mineral, energi fosil (minyak bumi) banyak didapatkan di lepas pantai, energi tidal
  • Keanekaragaman yang sangat tinggi, khususnya di laut tropik: terumbu karang, mangrove

Ekosistem di wilayah pesisir dan laut di iklim tropis, yaitu ;

a. Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang adalah karang yang terbentuk dari kalsium karbonat koloni kerang laut yang bernama polip yang bersimbiosis dengan organisme miskroskopis yang bernama zooxanthellae. Luas terumbu karang Indonesia diperkirakan mencapai 60.000 km2, namun hanya 6,2% saja yang kondisinya baik. Hal ini dapat ditentukan dengan menggunakan Metode Transek Garis atau Line Intercept Transect (LIT) dan Petak contoh (Transect plot). Manfaat terumbu karang adalah menyediakan berbagai barang dan jasa untuk makanan dan mata pencaharian, pariwisata, sumber bahan obat dan kosmetik, dan habitat.

b. Ekosistem Lamun

Lamun merupakan tumbuhan berbunga yang hidupnya terbenam di dalam laut. Padang lamun ini merupakan ekosistem yang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Fungsi ekologi yang penting yaitu sebagai feeding ground, spawning ground dan nursery ground beberapa jenis hewan yaitu udang dan ikan baranong, sebagai peredam arus sehingga perairan dan sekitarnya menjadi tenang.

c. Ekosistem Mangrove
Hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Luas hutan mangrove di Indonesia merupakan yang terluas di dunia (2,5-3,5 juta Ha,18-23 % luas mangrove di dunia dan lebih luas dari Brasil). Manfaat Mangrove adalah nursery ground, spawning, dan feeding ground banyak spesiesikan dan udang dan memberikan perlindungan terhadap gelombang.


Posted in Uncategorized

Ekosistem Mangrove di pantai utara Pamanukan, Kabupaten Subang; Jawa Barat.

15 June 2010
3 Comments

Perairan Gagara Menyan terletak di pantai utara Pamanukan, Kabupaten Subang; Jawa Barat. Perairan ini mernupakan muara beberaoa sungai dan dikelilingi oleh hutan mangrove. Luas perairan diperkirakan sekitar 95ha. Sebagaian besar daerah hutan mangrove yang terdapat di situ telah dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai tambak tumpangsari.

Perairan muara sungai atau estuari umunya mempunyai produktivitas yang tinggi. Menurut STEWART (1972), perairan muara biasaya kaya aka vitamin B-12 yang merupakan faktor pertumbuhan penting bagi plakton nabati yang berfugsi sebagai penghasil zat organik di lautan. Umumnya perairan muara juga terkenal sebagai penghasil kerang-kerangan dan berbagai jenis ikan lainnya (WALNE 1972).

Dalam rangka usaha pemanfaatan daerah-daerah perairan pantai, Lembaga Penelitian Perikanan Laut telah melakukan pengamatan perairan Gagara Menyan. Aspek-aspek yang diamati meliputi sifat-sifat fisika dan kimia perairan, kondisi hidrologis, penyebaran plankton, kondisi dan peranan hutan mangrove, dan perikanan tiram.

Menurut Barnes dan Hughes (1999), mangrove menghasilkan serasah sebanyak 20 ton/ha/tahun dengan produktifitas primer sebesar 0.5-2.4 gram C/m2/hari. Sedangkan Raffaelli dan Hawkins (1996), menyatakan bahwa komunitas mangrove menghasilkan produktifitas primer sebesar 310 gram C/m2/tahun. Sebagian besar dari serasah atau bahan organik yang berada di daerah mangrove tidak langsung dimanfaatkan oleh organisme melainkan akan memasuki jaring-jaring makanan dalam bentuk bahan organik terlarut (Dissolved Organic Matter).

Mann (2000) menyatakan bahwa rata-rata produksi serasah mangrove yang berasal dari daun dan ranting yang gugur mencapai 0,5 – 1,0 kg/m2/tahun. Dari jumlah tersebut sekitar 50%akan hanyut ke luar dari daerah mangrove saat pasang dan terbawa menuju ke ekosistem lamun dan terumbu karang.

Secara umum proses transfer nutrien dari daratan menuju daerah mangrove, lamun dan terumbu karang sangat kompleks dan menarik untuk dipelajari karena menunjukkan adanya hubungan keterkaitan di antara ekosistem yang ada di daerah pesisir. Bahan organik yang dibawa oleh aliran sungai dan serasah mangrove mengalami proses dekomposisi terlebih dahulu sebelum dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai unsur hara. Saat daun mangrove gugur dari pohon dan jatuh di permukaan air, maka dimulailah proses dekomposisi bahan organik. Daun mangrove yang jatuh di air atau lumpur yang becek dan lembab akan membusuk perlahan-lahan akibat proses dekomposisi oleh bakteri dan jamur. Proses dekomposisi ini sangat penting karena mengubah serat daun mangrove yang tidak dapat dicerna menjadi menjadi serat yang lebih mudah dicerna. Serasah mangrove yang sudah membusuk tadi kemudian akan dirobek, dicabik-cabik menjadi potongan-potongan yang lebih kecil dan dicerna oleh kepiting dan hewan invertebrata lainnya. Potongan-potongan ini dikenal sebagai POM (Particulate Organic Matter). Setelah dicerna, terbentuk partikel organik yang lebih halus dan lebih sederhana dalam bentuk feses (kotoran). Feses ini akan dicerna lebih lanjut oleh organisme pemakan deposit (deposit feeder) menghasilkan feses yang lebih halus lagi dan kemudian dimanfaatkan oleh organisme penyaring makanan (filter feeder).

Proses dekomposisi akibat autolisis jaringan mati dan aktifitas bakteri akan menghasilkan bahan organik yang sifatnya terlarut yang dikenal sebagai DOM (Dissolved Organic Matter). Bahan ini akan dimanfaatkan kembali oleh bakteri, diserap oleh hewan invertebrata atau berikatan dengan partikel tersuspensi dan gelembung busa melalui proses fisik-kimiawi sebelum mengendap di dasar perairan dan dimanfaatkan oleh organisme yang hidup dalam sedimen . Sebagian bahan organik akan terhanyut menuju ekosistem lamun dan terumbu karang. Bahan Organik (DOM) yang terlarut dalam kolom air akan dimanfaatkan oleh fitoplankton sebagai produsen primer membentuk partikel organik yang lebih kompleks melalui proses fotosintesis. Fitoplankton kemudian dimakan oleh zooplankton, zooplankton dimakan oleh juvenil ikan dan seterusnya. Dengan demikian terjadi transfer energi dari mangrove ke dalam jaring-jaring makanan melalui aktifitas dekomposisi dari mikroorganisme (Mann, 2000).

Di ekosistem mangrove rantai makanan yang ada untuk biota perairan adalah rantai makanan detritus. Detritus diperoleh dari guguran daun mangrove yang jatuh ke perairan kemudian mengalami penguraian dan berubah menjadi partikel kecil yang dilakukan oleh mikroorganisme seperti bakteri dan jamur.

Rantai ini dimulai dengan produksi karbohidrat dan karbon oleh tumbuhan melalui proses Fotosintesis. Sampah daun kemudian dihancurkan oleh amphipoda dan kepiting. (Head, 1971; Sasekumar, 1984). Proses dekomposisi berlanjut melalui pembusukan daun detritus secara mikrobial dan jamur (Fell et al., 1975; Cundel et al., 1979) dan penggunaan ulang partikel detrital (dalam wujud feses) oleh bermacam-macam detritivor (Odum dan Heald, 1975), diawali dengan invertebrata meiofauna dan diakhiri dengan suatu spesies semacam cacing, moluska, udang-udangan dan kepiting yang selanjutnya dalam siklus dimangsa oleh karnivora tingkat rendah. Rantai makanan diakhiri dengan karnivora tingkat tinggi seperti ikan besar, burung pemangsa, kucing liar atau manusia.

Rantai makanan pada ekosistem mangrove (Nybakken, 1992)

Gambar diatas dijelaskan tentang rantai makanan pada ekosistem mangrove secara umum namun proses rantai makanan tersebut tidaklah beda dengan system rantai makanan di ekosistem mangrove di pantai karangsong indramayu.

Daur energi pada ekosistem mangrove

Di alam semesta hanya terdapat satu sumber energi yaitu cahaya matahari. Di dalam beberapa referensi juga dijelaskan bahwa sumber energi selain matahari seperti energi air, energi listrik, energi ombak dan lain sebagainya itu semua adalah hasil transformasi (aliran) energi matahari menjadi berbagai energi tersebut.

Anda juga masih ingat bahwa aliran energi energi di dalam ekosistem berbeda dengan daur materi, dimana sifat energi mengikuti hukum-hukum termodinamika.

  1. Hukum termodinamika I : yang menyatakan bahwa energi dapat diubah bentuknya, dari bentuk yang satu kebentuk yang lain, tetapi tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan.
  2. Hukum termodinamika II : yang menyatakan bahwa setiap proses perubahan  bentuk energi selalu tidak efesien. Oleh karena itu setiap perubahan bentuk energi, maka energi baru yang terbentuk konsentrasinya selalu lebih kecil dari pada konsentrasi energi sebelumnya.

Berapa besarkah energi yang mengalir pada setiap organisme di dalam ekosistem?

Marilah kita lihat gambar berikut :

Produser

Tanaman sebagai produser adalah awal dari terjadinya aliran energi. Hanya sekitar 10% energi yang mengalir ke dalam setiap aras trofik yang lebih tinggi

Konsumer primer

Hanya sekitar 10% energi yang tersedia pada tanaman dapat digunakan sebagai makanan bagi konsumer primer (herbivora).

Konsumer sekunder

Hanya sekitar 1% energi produser yang dapat dimanfaatkan oleh konsumer sekunder.

Jadi hanya sekitar 10% dari setiap level/aras trofik yang dapat dimanfaatkan oleh organisme berikutnya. Begitu besar entropi (energi yang tidak termanfaatkan) di dalam suatu ekosistem.

Rujukan Bacaan :

Supriharyono. 2000. Pelestarian Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia : Jakarta

Nybakken, James.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia : Jakarta


Posted in Uncategorized

trik tidur di bus dipatiukur jatinangor

11 March 2010
4 Comments

1.dapet tempat duduk, kalo bisa tidur ambil berdiri gpp.
2.udah bayar, biar ga diganggu kenek.
3.ngantuk, kalo ga ngantuk ngapain. (tapi kalo g ada temen ngobrol biasanya juga tidur)
4.duduk paling belakang, kalo g dapet duduk deket jendela.
5.jaga barang bawaan anda.
6.kalo suka mendengkur jangan tidur deh, malu.
7.cari posisi yang enak.
8.jangan lupa baca doa.

to be continued….


Posted in Uncategorized

Carbon Sink

30 December 2009
7 Comments

Dari buku national geografi bulan Desember tahun 2009 yang aku baca. Kalo kita membuang karbon dioksida ke atmosfer lebih cepat daripada kemampuan alam untuk membersihkannya, planet kita akan mengalami pemanasan atau yang biasa disebut global warming. Tapi waktu yang dibutuhkan untuk membersihkan pasokan karbon dioksida dari atmosfer juga lama.
Menurut John Streman, teradapat kesalahan manusia yang mendasar yang merintangi upaya perang terhadap pemanasan global. Yang dimaksud Streman bukanlah keserakahan, sifat egois, atau sifat-sifat buruk lainnya. Ia sedang membicarakan keterbatasan pemahaman. ”Masalah penting dan laten mengenai cara manusia berpikir”, begitu meurut Streman. Hal itu ia amati selama menguji mahasiswa pasacasarjana di Sloan School of Management di Massachusetts Institute of Technology(MIT), tempat ia mengajar ilmu sistem dinamika. Menurut Sterman,para muridnya itu , walaupun sangat cerdas dan mahir kalkulus, ternyata kurang memeiliki pemahaman intuitif tentang sebuah sistem yang sederhan tetapi vital: bak mandi.
Yang dimaksud Streman adalah bak mandi dengan air keran dan sumbat saluran buangan yang terbuka. Ketinggian air dapat dijadikan perumpaan untuk banyak hal, salah satunya kadar CO2 di atmosfir Bumi. Pada kasus ini, ketinggian atau isi bak mandi hanya bisa berkurang jika buangan air lebih cepat daripada laju aliran air.
Tetumbuhan, lautan, dan bebatuan semuanya membersihkan CO2 dari atmosfer. Akan tetapi, seperti penjelasan ahli klimatologi David Archer dalam bukunya The Long Thaw, proses pembersihan itu berjalan lambat. Sebagian besar mahasiswa berpikir, peningkatan kadar CO2 di atmosfer dapat dihentikan hanya dengan menghentikan pertambahan emisi. Jika mahasiswa pascasarjana MIT saja tidak memahami konsep ini, sebagian besar politisi dan masyarakat kemungkinan juga tidak paham. ”Dan ini berarti mereka berpikir bahwa menstabilkan buangan gas rumah kaca dan menghentikan pemanasan global adalah pekerjaan yang lebih mudah daripada yang sbenarnya,” ucap Sterman.
Pada 2008, kadar CO2 di atmosfer adalah 385 ppm dan meneingkat 2 atau 3 pp, setiap tahun. Untuk menghentikan peningkatannya pada kadar 450 ppm kadar yang dianggap sangat berbahaya oleh para ilmuwan, menurut Sterman, dunia harus mengurangi emisi CO2 sekitar 80 persen pada 2050. Saat para diplomat bersidang di Kopenhagen Desember 2009 ini untuk merundingkan perjanjian ilklim global, Sterman kaan hadir untuk ikut memberi gambaran. Ia akan menggunakan simulasi komputer berdasarkan model prakiraan iklim terbaru untuk memperlihatkan bagaimana pengurangan emisi yang ia usulkan akan memengaruhi kadar CO2 di atmosfer serta suhu Bumi. Para mahasiswa Sterman biasanya menjadi semakin pandai tentang sistem dinamika bak mandi akhir kuliah. Dan ini memberikan harapan kepada Sterman. ”Orang dapat belajar dan memahami konsep ini,” katanya.
-Robert Kunzig

Hutan Sebagai Penyerap Karbon

Hutan memiliki penting dalam siklus karbon secara global, yaitu sebagai penyimpan karbon dari semua ekosistem terrestrial, dan bertindak sebagai penyerap karbon dalam beberapa kondisi tertentu. Besarnya CO2 (carbon dioksida) yang tersimpan dalam ekosistem hutan merupakan suatu penyangga penting dalam proses menjaga perubahan iklim (climate changes). Tetapi sangat disayangkan, konsentrasi gas rumah kaca (GRK) terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya emisi yang dilepas oleh berbagai aktivitas manusia.
Penyumbang utama emisi dalam seratus tahun terakhir ini berasal dari pembakaran bahan-bakar dari fosil (fossil fuel), termasuk di dalamnya minyak, gas dan batu-bara, untuk keperluaan bahan bakar kendaraan bermotor, kegiatan industri dan pembangkitan tenaga listrik. Kontribusi dari sektor ini diperkirakan mencapai sekitar 65% dari total emisi dunia (Stern, 2007). Walaupun demikian, kegiatan pertanian (14%), deforestasi (18%), kegiatan rumah-tangga dan pembuangan limbah, turut berkontribusi dalam melepaskan gas-gas pemanas, yaitu carbon (zat arang) dan metan ke udara. Untuk konteks di Indonesia, penyumbang terbesar emisi bagi gas rumah kaca, dihasilkan dari kebakaran dan penggundulan hutan (deforestasi). Eksploitasi yang tidak terkontrol, terutama akibat praktek-praktek penebangan liar (illegal logging), konversi hutan alam dan gambut untuk dijadikan perkebunan sawit dan pertambangan, pemberian ijin pemanfaatan kayu, serta kebakaran hutan merupakan faktor-faktor utama yang mempercepat terjadinya deforestasi di Indonesia (FWI/GFW, 2001).
Kemampuan hutan untuk menyerap karbon semakin terbatas, salah satunya disebabkan oleh laju deforestasi yang semakin cepat. Peran penting hutan yang sedianya berfungsi sebagai penyimpan (storage) maupun penyerap (sink) karbon akan berubah menjadi salah satu sumber penghasil emisi panas yang mempengaruhi konsentrasi gas rumah kaca (GRK).

Siklus karbon di dalam biosfer meliputi dua bagian siklus penting, di darat dan di laut. Keduanya dihubungkan oleh atmosfer yang berfungsi sebagai fase antara. Siklus karbon global melibatkan transfer karbon dari berbagai reservoir. Jika dibandingkan dengan sumber karbon yang tidak reaktif, biosfer mengandung karbon yang lebih sedikit, namun demikian siklus yang terjadi sangat dinamik di alam (Vlek, 1997).

Sejumlah besar kalsium karbonat dalam lebih dari 10 juta tahun yang lalu telah terlarut dan tercuci dari permukaan daratan. Sebaliknya, dalam jumlah yang sama telah terpresipitasi dari air laut ke dalam lantai dasar laut. Waktu tinggal (residence time) karbon di dalam atmosfer dalam pertukarannya dengan hidrosfer berkisar antara 5 – 10 tahun, sedangkan dalam pertukarannya dengan sel tanaman dan binatang sekitar 300 tahun. Hal ini berbeda dalam skala waktu dibandingkan dengan residence time untuk karbon terlarut (ribuan tahun) dan karbon dalam sedimen dan bahan bakar fosil (jutaan tahun) (Vlek, 1997 dalam Herman Widjaja, 2002).

Dari hasil inventarisasi gas-gas rumah kaca di Indonesia dengan menggunakan metoda IPCC 1996, diketahui bahwa pada tahun 1994 emisi total CO2 adalah 748,607 Gg (Giga gram), CH4 sebanyak 6,409 Gg, N2O sekitar 61 Gg, NOX sebanyak 928 Gg dan CO sebanyak 11,966 Gg. Adapun penyerapan CO2 oleh hutan kurang lebih sebanyak 364,726 Gg, dengan demikian untuk tahun 1994 tingkat emisi CO2 di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat penyerapannya. Indonesia sudah menjadi net emitter, sekitar 383,881 Gg pada tahun 1994. Hasil perhitungan sebelumnya, pada tahun 1990, Indonesia masih sebagai net sink atau tingkat penyerapan lebih tinggi dari tingkat emisi. Berapapun kecilnya Indonesia sudah memberikan kontribusi bagi meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca secara global di atmosfer (Widjaja, 2002).

Banyak pihak yang beranggapan bahwa melakukan mitigasi secara permanen melalui penghematan pemanfaatan bahan bakar fosil, teknologi bersih, dan penggunaan energi terbarukan, lebih penting daripada melalui carbon sink. Hal ini dikarenakan hutan hanya menyimpan karbon untuk waktu yang terbatas (stock). Ketika terjadi penebangan hutan, kebakaran atau perubahan tata guna lahan, karbon tersebut akan dilepaskan kembali ke atmosfer (Rusmantoro, 2003).

Carbon sink adalah istilah yang kerap digunakan di bidang perubahan iklim. Istilah ini berkaitan dengan fungsi hutan sebagai penyerap (sink) dan penyimpan (reservoir) karbon. Emisi karbon ini umumnya dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil pada sektor industri, transportasi dan rumah tangga.

Pada kawasan hutan Pinus di DTA Rahtawu dengan umur tegakan 30 tahun mempunyai potensi penyimpanan karbon sebesar 147,84 ton/ha dengan prosentase penyimpanan terbesar pada bagian batang (73,46%), kemudian cabang (16,14%), kulit (6,99%), daun (3,17%) dan bunga-buah (0,24%). Dari data diatas dapat diprediksi kemampuan hutan pinus dalam menyimpan karbon melalui pendekatan kandungan C-organik dalam biomas memiliki potensi penyimpanan mencapai 44% dari total biomasnya. Sehingga DTA Rahtawu dengan luasan 101,79 ha memiliki potensi penyimpanan karbon dalam tegakan sebesar 15.048,5 ton, penyimpanan karbon dalam seresah sebesar 510 ton dan dalam tumbuhan bawah sebesar 91 ton karbon. (Suryatmojo, H., 2004)

Terumbu Karang Bisa Jadi Penyerap Karbon
Penyerapan karbon (carbon sink) oleh terumbu karang bisa terjadi, apalagi di Indonesia yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan.

Peneliti Bidang Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Kurnaen Sumadiharga di Jakarta, Rabu, mengatakan, isu penyerapan karbon melalui media terumbu karang ini harus dijadikan topik bahasan utama dalam Konferensi Kelautan Dunia atau World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle Initiative (CTI) di Manado, 11-14 Mei 2009.

Ia menjelaskan, proses fotosintesa mungkin dilakukan oleh tumbuhan yang memiliki zat hijau daun atau klorofil. Menurut dia, terumbu karang terdiri dari unsur binatang karang bernama Polip yang melakukan simbiosis mutualisme dengan tumbuhan alga, yakni ganggang hijau.

“Tumbuhan inilah yang sesungguhnya melakukan proses fotosintesa, sekalipun di dalam air,” katanya. Proses fotosintesa, kata dia, memerlukan karbon dioksida (CO2) serta sinar matahari, yang selanjutnya menghasilkan oksigen (O2), air serta gula. Adapun CO2 yang menjadi bahan utama proses fotosintesa, kata dia, juga tersedia di laut.

Ia mengatakan, pada malam hari, saat terumbu karang tidak melakukan asimilasi, tumbuhan ini justru menghasilkan CO2. “Karbon yang dihasilkan saat malam hari inilah yang menjadi bahan utama terjadinya proses fotosintesa,” katanya.

Oleh karena itu, lanjut dia, keberadaan terumbu karang ini harus dipelihara dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengantisipasi terjadinya perubahan iklim.

Asisten Deputi Pengendalian Kerusakan Pesisir dan Laut Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam Kementerian Negara Lingkungan Hidup Wahyu Indraningsih menuturkan, keberadaan terumbu karang di Indonesia harus benar-benar dijaga. Menurut dia, selain disebabkan oleh penggunaan bahan peledak, perubahan iklim global beberapa waktu terakhir ini juga menjadi salah satu penyebab rusaknya terumbu karang.

Ia mengatakan, perubahan iklim berakibat terhadap naiknya suhu air laut. “Suhu air laut yang naik 2-3 derajat Celcius dalam dua minggu berturut-turut menyebabkan kerusakan terumbu karang,” katanya. Kondisi semacam ini, lanjut dia, juga sudah mulai terindikasi di wilayah Indonesia.


Posted in Uncategorized

Hello world!

26 November 2008
3 Comments

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!


Posted in Uncategorized